Sunday 14 August 2011

ITB dijangka tubuh cawangan di Malaysia


Institut Teknologi Bandung (ITB) merencanakan membuka kampus di Malaysia. Berita ini disampaikan oleh Tan Sri Prof Dr Salleh Mohd Yassin, Mantan Naib Canselor Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) kepada yang hadir dalam majlis berbuka puasa Ikatan Alumni ITB Cabang Kuala Lumpur (IA-ITB KL) pada Ahad 14 Ogos 2011 bertempat di Kediaman Prof Dr Jambari Hj Ali di Bandar Baru Bangi.

Selain Tan Sri Salleh dan tuan rumah, Prof Dr Saberi Othman, Ir Onn Yusof dan saya hadir atas undangan Prof Jambari. Isteri kami masing-masing pun hadir bagi memeriahkan lagi majlis itu. Inilah kali pertama saya hadir dalam pertemuan IA-ITB KL. Ikatan ini menggabungkan semua lulusan ITB yang berada di Malaysia.
Ahli Ikatan ini terdiri dari alumni ITB yang berasal dari Indonesia dan juga Malaysia. Dianggarkan seramai 200 orang sudah menjadi ahli Ikatan ini sejak ditubuhkan pada 2007. Ramai alumni ITB akan menjadi ahli sekiranya tahu kewujudan Ikatan ini.

Menurut Tan Sri Salleh, yang menggerakkan penubuhan cawangan ITB di Malaysia, perkembangan penubuhan cawangan ITB sudah hampir menjadi kenyataan, hanya menunggu masa yang sesuai untuk dilancarkan. Alumni ITB yang berada di Malaysia berpeluang menjadi tenaga pengajar ITB Kampus Malaysia. Diura-urakan kampus akan didirikan di satu kawasan di Johor, namun ramai berpendapat lebih strategic jika kampus itu berada di sekitar Kuala Lumpur.

Ada juga timbul cadangan untuk mengadakan pra-universiti bidang perubatan, pergigian, sains dan teknologi di Malaysia sebagai “feeder” kepada universiti-universiti di Indonesia termasuk ITB. Melalui penubuhan kampus ITB di Malaysia adalah diharapkan hubungan silaturrahim antara rakyat Malaysia dan Indonesia dapat dipereratkan lagi. Malaysia sangat berminat menjadi “hub” pendidikan bagi warga luar Negara termasuk dari Timur Tengah dan Negara Afrika.

Gagasan untuk mengadakan kampus ITB di Malaysia dapat sedikit sebanyak meringankan penampungan ITB yang pada tahun 2008 yang sudah mempunyai mahasiswa seramai 17,000 orang. Kerajaan Malaysia mungkin boleh menawarkan biasiswa bagi pelajar-pelajar Indonesia yang pintar untuk belajar di Malaysia dan dengan itu menambahbaik kualiti sumber daya manusia serantau. Walau pun Bahasa Inggeris (BI) dicadangkan sebagai bahasa pengantar kampus ITB nanti, namun penggunaan Bahasa Malaysia dan juga Bahasa Indonesia akan terus mendapat tempat di kedua-dua Negara.

Pihak ITB mungkin menghadapi sedikit masalah kekangan kewangan kerana ketika ini ITB sedang membina kampusnya di Jatinagor yang memakan biaya yang agak lumayan. Difahamkan bahawa sudah ada investor yang berminat untuk melabur jika kampus ITB benar-benar menjadi kenyataan di Malaysia. Satu kendala (halangan) lagi ialah buat masa ini Indonesia belum ada satu peraturan yang membenarkan mana-mana university Republik itu membuka kampus di luar Negara. ITB perlu mengambil langkah proaktif dan menjadi university pertama membuka kampus di Malaysia. Banyak university luar Negara telah membuka kampus mereka di Malaysia seperti Universiti Nottingham, Monash, dan Curtin. Sebagai seorang alumni saya sendiri sangat setuju sekiranya ITB membuka kampus di Malaysia dan jika tenaga diperlukan kami akan tampil membantu.
Selepas raya nanti Rektor ITB akan dating ke Malaysia dan dalam kesempatan itu nanti IA-ITB KL dapat memberikan dokongan kepada Pak Rektor agar pembinaan kampus ITB di Malaysia disegerakan.

Kita tunggu hari yang bersejarah itu.

Ismail Abdullah, Teras Jernang,
14 Ogos 2011, 11.00 malam.

Saturday 13 August 2011

Status Gunung Papandayan Naik Jadi Siaga

GATRA News, Sabtu, 13 Agustus 2011 10:42

Bandung - Status Gunung Papandayan (2665 mdpl) di Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut, Jawa Barat, dinaikkan statusnya dari waspada (level II) menjadi Siaga (level III), karena aktivitasnya terus meningkat.

"Aktivitas kegempaan dan deformasi di Gunung Papandayan meningkat dalam beberapa hari terakhir ini dan statusnya dinaikan menjadi Siaga pada Sabtu pukul 04.00 WIB," kata Kepala Bidang Pengamatan Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi, Hendrasto di Bandung, Sabtu.

Menurut Hendrasto, peningkatan kegempaan di gunung tersebut teramati dari enam perangkat seismograf yang terpasang di gunung itu terutama dari Kawah Mas dan Kawah Manuk.

Kegempaan yang berlangsung 1-12 Agustus 2011 terekam selama 37 kali gempa vulkanik dalam, 227 kejadian gempa vulkanik dangkal, 53 kejadian tektonik jauh dan delapan gempa tektonik lokal.

"Statusnya baru level III, tidak ada letusan di Gunung Papandayan. Masyarakat di sekitar lokasi gunung itu diharap tenang dan tetap waspada," kata Hendrasto.

Meski demikian, Hendrasto menyebutkan, gunung api tipe A strato itu teramati mengeluarkan asap solfatar dari dinding Kawah Baru dan Kawah Emas dengan ketinggian 20-50 meter.

Gunung api yang juga menjadi obyek wisata favorit di Kabupaten Garut itu memiliki kawah yakni Kawah Emas, Kawah Manuk, Kawah Nagklak dan Kawah Baru. Kemudian Kawah Balagama, Kawah Walirang.

Potensi bencana pada level III untuk gunung Papandayan adalah erupsi freatik tiba-tiba serta adanya potensi longsoran tebing di sekitar Gunung Papandayan yang bisa memicu terjadinya banjir bandang lahar.

Dengan peningkatan status Gunung Papandayan, maka PVMBG merekomendasikan masayeakat untuk tidak mendekati lokasi kawah pada radius dua kilometer. "Masyarakat dilarang masuk area 2 kilometer dari kawah, dan masyarakat diharap tenang, menghindari isu-isu yang tidak jelas," kata Hendrasto.

Sementara itu, PVMBG akan menurunkan tim dan gerbung di Posko Pengamatan Gunung Api Papandayan di Desa Pakuwon Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut. [TMA, Ant]

Friday 12 August 2011

Know your neighbour prosper together - The Star 13 Aug 2011


COMMENT By DATUK SERI MUSTAPA MOHAMED

LANDING in Balikpapan after a 2-hour direct AirAsia flight from Kuala Lumpur makes you realise how close you are to some of Indonesia's most bustling cities.
My trip to Balikpapan was sparked off by a meeting I had some four months earlier with the city's personable mayor, Bapak Rizal Effendi in Jakarta at a lunch for editors from Indonesia's largest newspaper group, Jawa Pos. He convinced me that it is important to promote Malaysia in cities outside Jakarta.

At the time I promised him that I'd visit his city the premier commercial hub in the booming natural resource province of East Kalimantan within the next four months. It wasn't easy to arrange but with the Asean Economic Ministers' Meeting set for Manado, I was able to pack in a quick trip to Pak Rizal's home city.

With a population of just over 600,000, Balikpapan is a thoroughly business-focused city framed by the Makassar Straits on one side and countless rolling hills on the other.

There is an intriguing mix of tall apartment blocks, shopping malls, 4 and 5 star hotels as well as low rise and densely packed housing interspersed with many buildings sporting the distinctive Dayak layang-layang roofs. I could feel the dynamism of this fast growing city.

The city's airport, Sepinggan, is Indonesia's fourth busiest. Indeed, there were many planes six 737s and Airbuses parked on the tarmac not to mention other private commercial airplanes and helicopters. This airport has experienced phenomenal growth in recent years. Plans are already in place to increase passenger capacity from 5 million to 15 million passengers per annum.

East Kalimantan is Indonesia's largest producer of coal (54%) and oil and gas (34%). With a population of 3.2 million spread over an area 1 times the size of Java and three times the size of Sabah, there are large areas outside of the two main cities (Balikpapan and the provincial capital, Samarinda) which are only very sparsely populated especially to the north near the Sabah and Sarawak border.
On my arrival I called on the leading local newspaper, Kaltim Pos where I had a discussion with its editors as well as a live TV interview. Interestingly, the Balikpapan journalists were also pretty well-informed about Malaysia. There was the inevitable question about Indonesian workers in Sabah.

Later at Buka Puasa hosted by the charming and extremely knowledgeable Governor, Bapak Awang Faroek I was to receive along with my delegation where many of whom are from Sabah an impressive power-point presentation on his province's potential as well as the infrastructural projects they were targeting to build.

Indeed, as we discussed East Kalimantan's huge coal resources and the province's infrastructure needs over Buka Puasa, I was struck by the extent to which Bahasa Malaysia and Bahasa Indonesia really brought the two sides together. I know many people deride the idea of serumpun but there's no denying the advantage we Malaysians have in penetrating and connecting with Indonesians because of our shared language. Moreover, it's well worth reflecting on the enormous economic value of Bahasa Malaysia/Indonesia especially for those who doubt its use commercially. With fluency in Bahasa Malaysia/Indonesia one is able to do business across this archipelagaic nation of over 240 million consumers. So parents please remember that learning and acquiring fluency in Bahasa Malaysia has a very real economic future value.

Moreover, I also noted Awang Faroek's passionate interest in Malay culture and Malay songs so much so that he was hosting a Festival Zapin in the provincial capital in December.

East Kalimantan, also known as Kaltim or Kalimantan Timur, is just one of Indonesia's thirty-three provinces. However, it's also one of the richest and largest. And with the introduction of greater decentralisation since 2001, these provinces have become more autonomous.

For Malaysians and Malaysian businessmen and women they represent a new horizon of investment opportunities. There are big plans to expand palm oil production from 500,000 ha to 1.5 million ha, not to mention coal and other resources.

However, the opportunities work both ways and for Malaysian service providers, East Kalimantan is also an exciting market. Many of the local businessmen I met were very familiar with Kuala Lumpur and Kota Kinabalu. Indeed some had educated their children at schools and universities in Malaysia. At the same time they'd taken the opportunity to do their medical check-ups in Kuala Lumpur, Penang and Malacca.
I met a group of high net worth individuals who plan to do a group tour later in the year to explore trade and investment opportunities in Malaysia.

I had the opportunity to visit Bayan Resources a major producer of coal in Kaltim. It is owned by a Singaporean but run by Malaysians. Bapak Lim, the chief executive of this company, has been in Kaltim for 29 years. He told me that there are 40 Malaysians working in the company.

As per capita income rises, the middle class and well-off Indonesians will travel, seek medical treatment and have their children study abroad. AirAsia has made all this possible with 3 flights a week between Kuala Lumpur and Balikpapan. Additional flights between Kota Kinabalu and Balikpapan will certainly boost ties. In my meetings with the businessmen, I urged them to travel to Malaysia, establish joint ventures with Malaysian companies, buy apartments and houses, seek medical treatment and educate their children in Malaysia.

I see a bright prospect for greater trade and investment between Sabah and Kalimantan Timur's population. And this is consistent with our objective of enhancing Asean's connectivity and realise the Asean Economic Community in 2015.

Datuk Seri Mustapa Mohamed is International Trade and Industry Minister.


Kearah Mencapai Status Masyarakat Malaysia-Indonesia Bertaraf Dunia - Peranan PAPTI


Disusun oleh:
Dr. Shamsul Bahar bin Abdul Kadir dan Professor Dr. Jambari bin H. Ali;
Persatuan Alumni Pendidikan Tinggi Indonesia (PAPTI)


Ringkasan
Kebijaksanaan polisi, keputusan dan langkah yang telah diambil oleh pemimpin kedua negara Malaysia dan Indonesia untuk meningkatkan kerjasama didalam bidang pendidikan sejak kedua negara mencapai kemerdekaan sudah mendatangkan hasil yang menguntungkan masyarakat kedua-dua negara. Malaysia dan rakyatnya sudah mendapat manfaat dengan pemergian pelajar-pelajar Malaysia melanjutkan pelajaran di institusi pengajian tinggi di Indonesia, dan begitu juga Indonesia dan rakyatnya sudah mendapat manfaat melalui kedatangan pelajar-pelajar Indonesia melanjutkan pelajaran di Malaysia.

Dalam mengharungi era globalisasi, masyarakat Malaysia dan Indonesia perlu dimajukan kearah masyarakat bermaruah bertaraf dunia. Kerjasama berbentuk collaborative learning, collaborative knowledge acquisition dan resource sharing yang sekarang sedia wujud perlu ditingkatkan. Teknologi terkini terutama teknologi komunikasi dan maklumat mesti dimanfaatkan sepenuhnya agar kerjasama Malaysia-Indonesia lebih efisien dan efektif. Polisi dan peraturan yang berkaitan di kedua-dua negara perlu diselaraskan untuk merangsang dan memudahkan kerjasama timbal balik dalam bidang pendidikan diantara Malaysia dan Indonesia.

Pendahuluan
Perhubungan didalam bidang pendidikan diantara negara merupakan perhubungan murni dan netral politik. Perhubungan demikian yang berlangsung diantara Malaysia dan Indonesia wujud kerana keperluan, sama ada oleh individu atau keluarga masing-masing maupun daripada pihak kerajaan/pemerintah kedua-dua negara. Dalam konteks peningkatan persahabatan dan pengukuhan kerjasama pembangunan diantara Malaysia dan Indonesia, peranan dan kesan perhubungan pendidikan diantara kedua negara perlu diteliti dan dikembangkan lebih lanjut secara jitu dan teratur demi kebaikan atau keuntungan bersama dan juga bagi mencapai matlamat dan wawasan kedua negara serumpun ini.

Keterbatasan Kertas Kerja Ini
Kertas kerja ini merupakan usaha awalan perbincangan atau penulisan mengenai apa yang sedang berlaku dan yang telah dicapai melalui kerjasama Malaysia-Indonesia dalam bidang pendidikan tinggi. Kertas ini jauh daripada bersifat ilmiah tetapi lebih merupakan himbauan pengalaman dan pengamatan pihak kami. PAPTI berpendapat perkembangan kerjasama bidang pendidikan tinggi diantara kedua negara tetangga ini perlu ditelusuri dengan lebih sistematik dan terperinci untuk kajian dan penelitian selanjutnya selepas ini.

Penulisan ini sudah pasti belum sempurna dari segi data empirikal maupun analisis yang tepat. Namun kami percaya dia dapat menggambarkan keadaan sebenar kerana PAPTI merupakan hasil dan bahagian dari sejarah ini. PAPTI berhasrat meneruskan usaha didalam perkara ini melalui penelitian lanjut dan penulisan seterusnya untuk rujukan dan rancangan serta tindakan masa hadapan.

Pendekatan Kertas Kerja Ini
Kertas kerja ini mengambil pendekatan melalui pertanyaan: “Apakah yang telah dapat kita capai sehingga kini dan apa pula yang perlu kita lakukan seterusnya untuk masa hadapan”. Perbincangan yang dibentangkan di sini adalah buah fikiran sekumpulan kecil ahli-ahli PAPTI yang mempunyai pengalaman secara langsung dalam topik berkenaan. Ahli-ahli PAPTI adalah rakyat Malaysia yang lulus pengajian tinggi di universiti-universiti di Indonesia, dan setelah kembali ke tanah air ikut berperanan memajukan usaha kearah kerjasama diantara pihak-pihak yang berkenaan di kedua-dua buah negara dalam bidang pendidikan tinggi.

Keperluan Pendidikan Tinggi Bagi Masyarakat Menghadapi Masa Hadapan
Pendidikan tinggi rakyat Malaysia dan Indonesia perlu secara terus menerus ditingkatkan agar rakyat kedua buah negara ini boleh menghadapai cabaran-cabaran dunia dalam era globalisasi, networked world, dan perkembangan teknologi maklumat dan telekomunikasi yang merubah cara manusia berfikir, berinteraksi, berkerja dan mengembang untuk menjadi masyarakat yang bermaruah didalam dunia baru ini. Masyarakat rumpun Malaysia dan Indonesia perlu bergerak proaktif agar tidak ketinggalan dengan kebangkitan masyarakat dunia lain saperti di Amerika Utara, Eropa, Cina, India dan Amerika Latin. Sehubungan hal ini kerjasama Malaysia-Indonesia baik secara bilateral maupun dalam ASEAN sudah tentunya akan memacu lajunya pencapaian wawasan rumpun masyarakat Malaysia dan Indonesia masa hadapan.

Sudah menjadi lumrah bahawa masyarakat yang maju haruslah mempunyai beberapa atribut unggul, diantaranya: berpengetahuan (knowledgeable), berketrampilan (skilled), dan berkerja secara inovatif dan cost-effective. Untuk itu mereka mesti berkerja secara jaringan (networking), banyak collaboration dan berkomunikasi secara berkesan.

Negara-negara membangun perlu menguruskan sumber daya manusia (human resource) masing-masing secara efisien dan seefektif mungkin. Wajarlah resource sharing dengan negara-negara sahabat dan tetangga dilaksanakan untuk mengatasi sumber yang terhad.

Latarbelakang Ringkas Pemergian/Kedatangan Pelajar diantara Malaysia dan Indonesia
Pemergian/kedatangan pelajar di rantau ini telah berlaku sejak zaman silam sebelum terbentuknya negara-negara Indonesia dan Malaysia merdeka. Aktiviti ini meningkat secara lebih formal setelah kedua-dua negara mencapai kemerdekaan dan terwujudnya institusi-institusi pendidikan tinggi moden. Perhubungan kerjasama rasmi Malaysia-Indonesia boleh dikatakan bermula secara rasmi apabila Pemerintah Republik Indonesia menawarkan lima biasiswa kepada pelajar Malaysia untuk belajar di Fakultas Sastera, Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1958 sebagai hadiah kemerdekaan Tanah Melayu atau Malaya. Tahun berikutnya lima orang lagi pelajar pergi kesana atas biasiswa yang sama.

Pemergian pelajar-pelajar Malaysia melanjutkan pelajaran di Indonesia meningkat pada tahun-tahun 1960an. Kebanyakan mereka melanjutkan pelajaran dengan pembiayaan sendirian. Ada juga yang dibantu oleh badan-badan sukarela/kebajikan saperti Gabungan Pelajar-Pelajar Malaysia Semenanjung (GPMS). Kerajaan Malaysia telah juga menghantar beberapa orang pelajar untuk mengikuti kursus penerbangan sivil di Akademi Penerbangan Indonesia di Tjurug, Tanggerang.

Pada tahun 1969 mulailah peningkatan kerjasama formal antara kerajaan/pemerintah kedua negara (Government-to-Government) dengan Malaysia buat pertama kalinya menghantar seramai 30 orang pelajar Malaysia ke Institut Teknologi Bandung (ITB) dan 30 pelajar ke Universitas Gadjah Mada (GAMA) dalam bidang sains tulin. Mereka ini ditaja oleh Kementerian Pelajaran Malaysia dan MARA (Majlis Amanah Rakyat), Malaysia.

Pada tahun 1970 sekitar 130 orang pelajar Malaysia yang ditaja oleh Kerajaan Malaysia melalui Jabatan Perkhidmatan Awam, Kementerian Pelajaran Malaysia dan MARA telah dihantar melanjutkan pelajaran didalam bidang-bidang sains, kejuruteraan, perubatan, pergigian, farmasi, pertanian, perhutanan, veterinari, kujuruteraan marin, sains pelayaran, di pelbagai institusi pengajian tinggi saperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara dan Akademi Ilmu Pelayaran. Penghantaran ini berlanjutan hingga tahun 1980an, namun jumlahnya berkurangan setelah lebih banyak universiti tempatan di Malaysia yang ditubuh ketika itu seperti Universiti Sains Malaysia, Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Petanian Malaysia.

Pada sekitar tahun 1998 jumlah pelajar Malaysia ke Indonesia mulai kembali meningkat, dan kebanyakan daripada mereka mengikuti pengajian perubatan, pergigian dan farmasi. Ketika ini dianggarkan lebih daripada 4,000 orang mahasiswa Malaysia sedang mengikuti pengajian di pelbagai institusi pengajian tinggi di Indonesia dalam bidang itu.

Sementara itu, kedatangan pelajar–pelajar Indonesia ke Malaysia tidak ketara pada beberapa dekad sebelum melania baru. Ia mulai meningkat pada tahun-tahun 1980an atau 1990an. Pada masa sekarang pelajar Indonesia di Malaysia dianggar melebihi 14,000 orang termasuklah mereka di peringkat sekolah mahupun institusi pengajian tinggi. Mulai tahun-tahun 1980an pelajar Indonesia diperingkat ijazah pertama di institusi pengajian tinggi swasta yang berprestasi tinggi di Malaysia terus meningkat. Walaupun jumlah pelajar ijazah pertama di universiti awam tidaklah ramai tetapi pada tahun 1995/1996 dianggarkan lebih dari 2,000 orang pelajar mengikuti program ijazah lanjutan, sarjana (Masters) dan PhD. Sebagai gambaran kasar, pada ketika itu pelajar-pelajar Indonesia di peringkat Siswazah Masters dan PhD di universiti-universiti di Malaysia berjumlah seperti berikut: Universiti Kebangsaan Malaysia sekitar 500 orang, Universiti Sains Malaysia sekitar 500 orang, Universiti Malaya sekitar 300 orang, dan Universiti Putra Malaysia sekitar 300 orang. Hari ini jumlah pelajar Indonesia yang mengikuti program Siswazah Masters dan PhD di Malaysia diperkirakan seramai 8,000 orang.

Pengalaman PAPTI dan Penglibatan Ahli PAPTI
Apabila kembali ke Malaysia setelah tamat pengajian di institusi pengajian tinggi di Indonesia, para graduan ini mula berkhidmat di pelbagai agensi kerajaan mahupun swasta. PAPTI (Persatuan Alumni Pendidikan Tinggi Indonesia) yang telah ditubuhkan pada tahun 1975 sebagai wadah organisasi mereka membawa misi, salah satunya ialah “Memperkukuhkan persaudaraan Rumpun Melayu (Malaysia-Indonesia) khususnya dalam bidang pendidikan, agama, dan kebudayaan”. Dalam kerangka ini, PAPTI berpegang teguh kepada keyakinan bahawa keakraban kedua masyarakat dapat diperkukuh melalui pendidikan terutama di peringkat tertiari.

PAPTI secara aktif telah menyediakan pakar-pakar yang terdiri dari ahlinya untuk menjadi pembimbing calon-calon yang akan menghadapi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Nasional iaitu ujian saringan untuk memasuki universiti di Indonesia. PAPTI juga telah dan sentiasa membantu calon-calon bersendirian untuk mendapatkan tempat mengikuti program perubatan, pergigian, farmasi, kejuruteraan di universiti terkemuka di Indonesia.

Ramai pula ahli-ahli PAPTI yang berperanan. secara langsung dalam usaha kerjasama bidang pendidikan Malaysia-Indonesia. Kehadiran ahli-ahli PAPTI di pelbagai Institusi Pendidikan Tinggi di Malaysia telah menghasilkan berbagai bentuk kerjasama berkenaan. Sebagai sedikit gambaran dan contoh, disini disebutkan beberapa bentuk kerjasama yang terjalin pada masa ini:
  1. Persidangan Tahunan Kerjasama Fakulti Sastera dan Sains Sosial Universiti Malaya dengan Universitas-Universitas Indonesia;
  2. Double-Degree Masters Program Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB), iaitu “Master of Science in Petroleum Geoscience and Master of Engineering in Applied Petroleum Geoscience”;
  3. Joint-Degree Medical Twinning Programme Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Universitas Padjadjaran (UNPAD);
  4. Simposium anjuran bersama Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Universitas Padjadjaran (UNPAD) bertajuk “Simposium Kebudayaan Indonesia Malaysia (SKIM)” yang berlangsung dwitahunan;
  5. Seminar Bersama Kimia ITB-UKM, “JSChem-ITB-UKM,” diantara Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang diadakan setiap tahun;
  6. Medical Conference yang dianjurkan secara bersama antara Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Universitas Indonesia (UI) dan Universiti Brunei, dinamakan “Malaysia-Indonesia-Brunei (MIB) Medical Conference”, yang diadakan setiap tahun;
  7. Seminar bersama Universiti Kebangsaan Malaysia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia - LIPI (The Indonesian Institute of Sciences) dalam bidang eletronik, “Joint Seminar on Electronic Devices, MEMS and Nanotechnology UKM-LIPI”, yang pada tahun ini masuk kali yang keempat diadakan secara bergilir di Indonesia dan Malaysia;
  8. Persidangan anjuran bersama Universiti Pendidkan Sultan Idris, Malaysia (UPSI) dan Universiti Pendidikan Indonesia (UPI), “Konferensi Internasional Pendidikan Guru”, yang tahun ini adalah kali yang ke-empat diadakan.

Banyak lagi program bersama diantara institusi-institusi pengajian tinggi di Malaysia dan Indonesia selain dari yang dinyatakan diatas tidak disenaraikan disini. Diantaranya perlu juga dinyatakan disini bahawa pada sekitar tahun 1970an pihak Malaysia pernah mengambil tenaga pengajar dari Indonesia untuk mengisi banyak jawatan pensyarah. Mereka juga telah bersama membangun bidang-bidang kritikal di Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Teknologi Malaysia yang baru ditubuhkan ketika itu.

Kesan Kerjasama Malaysia dan Indonesia Dalam Pendidikan Tinggi

Kesan positif yang diperolehi daripada usaha kerjasama Malaysia dan Indonesia didalam bidang pendidikan tinggi di kedua-dua negara tidak boleh dinafikan Kerjasama ini telah membawa manfaat dan keuntungan kepada kedua-dua negara. Boleh dikatakan kesemua graduan Malaysia dari Indonesia telah memegang jawatan penting dalam agensi kerajaan dan badan korporat atau pun syarikat swasta. Sebahagian pula meceburkan diri dalam bidang perniagaan.Ramai juga diantara mereka telah melanjutkan pelajaran keperingkat lebih tinggi sehingga peringkat Masters dan PhD. Banyak daripada mereka ini seterusnya berkhidmat di hampir semua universiti-universiti awam dan swasta utama di Malaysia sebagai tenaga akademik dan penyelidikan. Ramai pula diantara mereka telah diberi tanggungjawab pentadbiran seperti Dekan, Timbalan Naib Canselor dan malahan Naib Canselor. Beberapa orang yang telah mencapai heirarki tertinggi pengurusan universiti, contohnya Profesor Emeritus Dato’ Abu Bakar bin Abdul Hamid, mantan Timbalan Naib Cancelor Universiti Malaya, Tan Sri Dr. Mohamed Salleh Yassin, mantan Naib-Canselor Universiti Kebangsaan Malaysia yang kini menjawat Direktor, United Nations University (Institute of Global Health), Professor Dato’ Dr. Mohd. Noh Dalimin, mantan Naib-Canselor Universiti Malaysia Sabah yang kini menjawat Naib Canselor Universiti Tun Hussein Onn Malaysia dan Profesor Dr. Muhamad Awang mantan Timbalan Naib Canselor Universiti Putra Malaysia yang kini menjawat Naib Canselor Universiti Kolej SEGi. Contoh-contoh nyata hasil kegiatan dan usaha mereka dapat kita lihat dengan terwujudnya berbagai kerjasama professional didalam bidang pendidikan tinggi saperti contoh-contoh tersebut diatas. Kerjasama saperti joint-degree program dan twinning program merupakan capacity building yang amat perlu ditingkatkan untuk menghadapi cabaran saingan masyarakat sedunia menjelang tahun-tahun hadapan. Seminar dan penyelidikan bersama pula merupakan usaha resource sharing yang amat penting bagi kedua negara yang sedang membangun ini dan perlu pula menyaingi secara cost effective dengan negara-negara Asia yang lebih maju dan negara-negara Barat. Dengan semakin bertambahnya institusi-institusi pendidikan tinggi di Malaysia, dan perkembangan pesat bidang-bidang akademik peringkat sarjana, serta pendidikan dan penyelidikan berkualiti di Malaysia, ramai pelajar Indonesia melanjutkan pelajaran mereka di Malaysia. Sebahagian besar mereka datang dengan pembiayaan sendiri atau tajaan agensi di Indonesia dan tidak kurang pula yang mendapat pembiayaan dari geran penyelidikan Malaysia sebagai Pembantu Penyelidik. Ramai diantara mereka setelah tamat pengajian di Malaysia pulang dan kini memegang jawatan-jawatan penting dalam dunia pendidikan tinggi saperti Dekan dan Timbalan Rektor di universiti-universiti di Indonesia. Gambaran yang disampaikan di atas dapat dilihat sebagai suatu proses lingkaran timbal-balik, yang pada mulanya Malaysia mendapat banyak keuntungan daripada tenaga pengajar Indonesia di Malaysia dan penghantaran pelajar-pelajar Malaysia ke Indonesia, tetapi kini Indonesia juga menikmati manfaat yang sama. Malahan pihak Indonesia memperoleh manfaat yang lebih baik hasil dari graduan peringkat ijazah lanjutan yang diikuti oleh pelajar-pelajarnya. Kesan tidak langsung daripada program dan kegiatan bersama tersebut adalah peningkatan interaksi di kalangan rakyat dan kumpulan professional Malaysia-Indonesia. Setelah bertahun-tahun menikmati pengalaman hidup di negara tetangga, berkuliah atau berkerja bersama, tentu akan menimbulkan perhubungan akrab dan persefahaman yang lebih mendalam diantara rakyat kedua negara ini.

Kesimpulan

Adalah menjadi hasrat mana-mana negara di dunia ini yang menginginkan masyarakatnya maju dan berpengetahuan. Tidak terkecuali negara Malaysia dan Indonesia dalam hal ini. Amat jelas dapat dilihat kebijaksanaan polisi dan keputusan yang diambil oleh pemimpin kedua negara sudah mendatangkan hasil positif. Iktibar dari fenomena ini adalah kedua negara ini mesti meneliti kerjasama pendidikan secara lebih mendalam untuk mengadakan program yang lebih mantap dan jitu kerarah wawasan kedua negara serumpun ini. Polisi dan peraturan di kedua-dua negara perlu diselaraskan untuk merangsang dan memudahkan kerjasama. Teknologi terkini terutama teknologi komunikasi dan maklumat perlu dimanfaatkan sepenuhnya oleh kedua negara dalam perhubungan, pertukaran maklumat dan program-program berkaitan. Sebagai menyahut cabaran ekonomi dunia yang global dan networked pada masa hadapan, institusi-institusi pendidikan tinggi mesti bersifat terbuka dan menerapkan sikap dan amalan collaborative learning dan collaborative knowledge acquisition, serta resource sharing. Sehubungan ini sudah tentu kerjasama pendidikan tinggi Malaysia-Indonesia akan lebih berkesan dan menguntungkan kedua-dua negara.

Penghargaan dan Rujukan

  1. Penyusun merakamkan penghargaan kepada ahli-ahli PAPTI kumpulan sumbang saran semasa penyediaan kertas kerja ini, yaitu: Profesor Emeritus Dato’ Abu Bakar bin Abdul Hamid, Tan Sri Dato’ Dr. Mohamed Salleh bin Mohamed Yasin, Profesor Dato’ Dr. Muhammad bin Yahaya, Profesor Dr. Saberi bin Othman, Profesor Dr. Abdul Karim bin Tajudin, Ir. Onn bin Mohd. Yusof, Profesor Madya Dr. Mokhtar bin Abu Bakar, Dr. Dasrilsyah Syahrial.
  2. Rujukan juga diperolehi daripada kertas-kertas kerja berikut: Dato’ Haji Omar Mohd Hashim. 2009. Sumbangan Tenaga Pengajar Indonesia Dalam Bidang Sains dan Matematik di Sekolah-Sekolah dan Institusi Pengajian Tinggi di Malaysia, Dialog Membangkitkan Memori Kolektif Kesejarahan Indonesia-Malaysia, Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia, 8-9 Oktober 2009.
  3. Profesor Emeritus Abu Bakar bin Abdul Hamid. 2008. Hubungan Akademi Malaysia-Indonesia, Pandangan dan Pengalaman Peribadi. Persidangan Kerjasama Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya dengan Universitas-Universitas Indonesia sempena 50-Tahun Hubungan Diplomatik Rasmi Malaysia-Indonesia. 2008.

NOTA: Kertas ini telah dibentangkan oleh PAPTI di Dialog Kesejarahan Malaysia-Indonesia Ketiga, 1-3 Oktober 2010, Johor Bahru, Malaysia, yang dikendalikan oleh Persatuan Sejarah Malaysia (PSM) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI); dan kertas ini diterbitkan dalam buku “Memori Kolektif Kesejarahan Malaysia-Indonesia, terbitan Persatuan Sejarah Malaysia, 2011.

Bahasa Indonesia Ditutur Asing oleh Bangsa Indonesia – Ahmad Fadzil Yassin


Saya mengingatkan sejarah zaman gemilang Kerajaan Srivijaya Abad Ke-7, Majapahit Abad Ke-13, Melaka Abad Ke-15 dan Acheh Abad Ke-16 waktu pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia. Kerajaan-kerajaan Melayu itu memberikan sumbangan besar dan penting menjadikan bahasa Melayu lingua-franca dan bahasa perdagangan dunia sebelah sini.

Kemudian kelima-lima bangsa penjajah yang pernah menjajah Asia Tenggara abad Ke-16 hingga ke-20 iaitu Portugis, Sepanyol, Peranchis, Belanda, Jepun dan Inggeris mengakui hakikat betapa pentingnya peranan yang dimainkan oleh bahasa Melayu di daerah Nusantara ini. Hingga untuk eksploitasi yang efektif mereka menerima bahasa Melayu diteruskan sebagai bahasa dagang dan kehidupan.

Kota metropolitan Jakarta, bagi saya yang pertama kali datang, mengembalikan status pentadbiran kota oleh rumpun Melayu dengan bahasa Melayu sebagai alat perantara. Setaraf dengan kedudukan bahasa itu di zaman kegemilangannya berabad-abad lalu, meskipun bahasa Melayu sudah digunakan dengan istilah bahasa Indonesia sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Dalam Sumpah Pemuda , bahasa Melayu adalah bahasa Indonesia, jiwa bangsa Indonesia, alat pemersatu ratusan sukubangsa di Indonesia. Ketika itu rakyat Indonesia diberikan dua pilihan: Mahu menerima bahasa Melayu, hasil daripada asimilasi dengan bahasa-bahasa daerah atau terus-menerus menggunakan bahasa masing-masing daerah tetapi menghadapi risiko dipencil dan terpencil.

Pilihan kedua lebih membahayakan perpaduan bangsa Indonesia. Justru dengan pilihan pertama bangsa Indonesia seolah-olah dikurniakan “mukjizat” untuk menyatukan 120 juta umat yang heterogenous. Tetapi realiti kadang-kadang tidak seiring dengan aspirasi dan menepati cita-cita bangsa. Kebanggaan yang saya rasakan kini semakin surut kerana semakin lama saya menghadapi realitinya semakin saya tertanya-tanya apakah sebenarnya yang menghambat terpenuhnya aspirasi dan realiti kedudukan bahasa itu.

Apakah ada manusia yang menganggap enteng pemakaiannya; baik sifatnya sebagai alat penghubung yang vertikal (antara pemerintah dan rakyat atau antara guru dan murid) mahupun sifatnya sebagai alat penghubung yang horizontal (antara rakyat)? Seorang mahasiswa jurusan bahasa dan Sastera di sebuah universiti di Jakarta seolah-olah memberikan jawapan apabila dalam laporannya , setelah mengadakan penyelidikan pemakaian bahasa Indonesia di daerah Jawa Tengah menyimpulkan: Bahasa Indonesia tidak dikenali, dan penduduknya tidak mengerti bahasa itu (Harian Kompas, 20 Julai 1976.)

Dikatakan rata-rata masyarakat, terutama yang cauvinis dengan bahasa daerah, menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pelajar-pelajar menganggap bahasa Indonesia Cuma menjadi alat untuk berhubungan dengan guru. Di luar kegiatan sekolah mereka menggunakan bahasa Jawa.

Di Jawa Barat, waktu perjalanan dari Bandung ke pekan nelayan, Pelabuhan Ratu di pantai selatan melalui Sukabumi, jarang sekali saya dapat menggunakan bahasa Melayu/Indonesia. Saya terasa asing kerana kebanyakan yang ditemui jarang menggunakan bahasa Indonesia. Sehinggakan ada waktu-waktunya kami terpaksa menggunakan jurubahasa Sunda untuk mendapatkan pengertian. Seolah-olah bagi saya dan teman-teman yang seperjalanan menuju daerah camping di pesisiran pantai selatan itu ada suatu tembok bahasa yang usang lagi tradisional memisahkan kami dengan penduduk setempat. Begitu kuatnya pengaruh bahasa daerah dalam masyarakat setempat sehingga pada suatu pagi yang dingin waktu berjalan di pantai daerah kampung nelayan, Cisolok, kami terdengar ajaran agama dari sebuah madrasah menggunakan bahasa daerah.

Demikianlah, bahasa Indonesia seolah-olah tidak mampu menyusup, memperluaskan pengaruhnya di wilayah-wilayah tersebut sehingga kemampuan bahasa itu tetap menjadi statik. Sepuluh tahun yang lalu, Drs. Umar Junus dalam penyelidikannya tentang pemakaian bahasa Indonesia di Sekolah Lanjutan Pertama dan Atas di Malang menyimpulkan bahawa memang bahasa Indonesia dianggap bahasa kedua, ia hanya sebagai alat penghubung antara guru dan murid (“Data-data pemakaian bahasa Indonesia oleh beberapa murid SLP dan SLA di Malang”, dept.Ur, Research National Jakarta, 1965).
Ramai menyalahkan luasnya daerah Nusantara dengan prasarana kependudukan yang minima lagi ruwet maka terjadinya situasi pemakaian bahasa Indonesia yang paling tidak disenangi sekarang. Kesimpulan hasil penyelidikan Drs. Umar Junus yang sudah sepuluh tahun usianya itu masih berlaku sampai ke hari ini. Namun demikian bahasa Indonesia , secara relatif, lebih kuat pengaruhnya dalam masyarakat Indonesia yang heterogenous di kota-kota besar. Pengarunya semakin menipis dalam kalangan masyarakat yang homogenous yang majoritinya tinggal di daerah-daaerah pedalaman.
Memang ini ternyata benar apabila di daerah-daerah kota pada dasarnya sikap masyarakat terhadap bahasa Indonesia lebih positif berbanding yang di desa. Kehidupan masyarakat kota yang lebih formal dan lebih banyak saling berhubung (horizontal dan vertikal) maka bahasa Indonesia lebih berkesan pemakaiannya sebagai bahasa lingua-franca. Di desa tindakan yang negatif membikin pemakaian bahasa Indonesia lebih gawat, terutama apabila mengingatkan gejala-gejala modenisasi lewat pembangunan inpres (instruksi Presiden) baru sekarang dinaikkan temponya.

Ada pula yang optimis, iaitu setelah tiga puluh tahun Indonesia merdeka, penduduk daerah-daerah pendalaman memang bisa bertutur dalam bahasa Indonesia. Mustahil tidak. Cuma kurang lancar dan bagi penduduk mereka segan dan takut tersalah tutur. Di samping itu mereka menganggap oleh kerana bahasa daerah luas dituturkan maka tidak perlulah menggunakan bahasa nasional. Malah tidak praktis.
Dalam pada itu yang pesimis tidak akan berpanjangan melihatkan adanya keprihatinan yang serius dari pemerintah untuk menanggulangi masalah bahasa Indonesia secara massal. Modenisasi desa, lebih-lebih lagi derap pembangunan di kota-kota antara lain bertujuan mencerdaskan bangsa Indonesia yang hampir-hampir 70% adalah dari desa. Justru modenisasi desa ini akan diimbangi pembinaan pemakaian bahasa Indonesia.

Ceramah, khutbah, rapat-rapat setempat akan diusahakan untuk memperlihatkan adanya pemakaian yang sungguh-sungguh bahasa nasional.Perpustakaan, walau sekecil mana sekalipun, akan didirikan.Penduduk yang baru “mengenal huruf” diminta memanfaatkan semaksimum mungkin medan bacaan untuk melatih dan mempelajari bahasa Indonesia. Malah akhbar merupakan alat terpenting bagi mereka yang sudah mahir berbahasa Indonesia untuk meningkatkan pengetahuan.

Menurut satu sumber, akhbar masih belum sampai di desa, hingga ada kalangan yang prihatin terhadap masalah ini. Yang bersikap rasional mahukan kemasukan akhbar di daerah pedalaman ditingkatkan mengikut kemampuan daya baca masyarakat setempat. Ada baiknya bahasa Indonesia diperkenalkan terlebih dahulu dan penggunaaanya dimeratakan. Kemudian yang lebih penting warga desa perlu punya tanggungjawab dan tanggapan positif terhadap pelaksanaan pemakaian bahasa Indonesia.

Barangkali, usaha paling berkesan dan paling minimum kos biayanya ialah apa yang dikerjakan oleh mahasiswa Indonesia dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mahasiswa pada waktu cuti semester, dikirim ke daerah pedalaman untuk tujuan berbakti kepada masyarakat. Paling-paling ini bisa dimanfaatkan untuk memperluas pemakaian bahasa Indonesia melalui program kerja “Gerakan berbahasa Indonesia.” Kerja seumpama ini boleh dianggap sebagai satu kerja suci kerana mahasiswa bertugas menyedarkan masyarakat peri pentingnya kedudukan bahasa nasional. Selagi masyarakat masih bergelut dengan bahasa daerah mereka tidak akan maju, lantas terus-menerus terkongkong dengan kehidupan rutin harian mereka dalam bahasa itu.
Demikianlah bahasa Indonesia dalam hasrat penuturnya memenuhi aspirasi Sumpah pemuda, sesudah 30 tahun dalam gelombang kemerdekaan bangsa, begitu bersaing hebat dengan suasana dan kehidupan rakyat yang masih berpegang kepada bahasa daerah masing-masing. Fungsinya sebagai bahasa pemersatu akan tinggal fungsi sekiranya usaha dan kesedaran bangsa itu sendiri tidak ditingkatkan dan prosesnya tidak berterusan. Setiap kelompok yang berkepentingan pemerintah, ahli bahasa, mahasiswa dan rakyat mempunyai tugas masing-masing dalam memenuhi aspirasi sumpah Pemuda.
Dengan pesatnya pemakaian bahasa Malaysia di Malaysia dan dengan majunya bahasa Indonesia di Indonesia dan masuk dalam semua aspek kehidupan bangsa, maka masanya tidak akan lama rakyat di kedua-dua negara akan menyaksikan peranan bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa dunia yang paling berkesan. Menjelang Ulang tahun Kemerdekaan Indonesia 17 Ogos 1976 ini, yang diikuti oleh Malaysia dua minggu kemudiannya berikanlah renungan sejenak bagaimana bahasa Melayu mengalami perubahan dan proses pemakaiannya sejak abad ke-7 zaman Srivijaya.

Cuma sayang, bahasa Melayu dalam melalui zaman sudah disobek oleh tuntutan suasana dan keadaan politik moden hingga di Indonesia bahasa Melayu itu sudah dinamakan bahasa Indonesia dan di Malaysia bahasa Malaysia. Barangkali Jawatankuasa istilah dari Malaysia dan Indonesia yang akan meneruskan sidang tahunannya di Jakarta Ogos ini tidak akan melunturkan usaha ke arah menempatkan bahasa Melayu di tempatnya yanaga paling gemilang. (Dewan Masyarakat, Ogos 1976).

Catatan: Penulis, A.F.Yassin (Ahmad Fadzil Yassin) pertama kali melangkahkan kaki ke Indonesia pada bulan Mac 1976. Ini merupakan rencana penulis yang keempat sejak berstatus mahasiswa di Bandung. Rencana pertama yang disiarkan dari Bandung ialah “Pertamina: Tumbangnya Seorang Raja Minyak” yang disiarkan dalam majalah Dewan Masyarakat, Mei 1976 untuk disiarkan dalam majalah Dewan Masyarakat, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka. Untuk rencana ini tumpuan utama penulis ketika itu ialah untuk cuba menyesuaikan diri dengan kehidupan berkuliah dalam bahasa Indonesia khususnya Bandung yang rata-rata penduduknya berbahasa daerah, iaitu bahasa Sunda. Penulis mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru di Fakultas Ilmu Publisistik , Universitas Negeri Padjadjaran di kampus Jalan Dipati Ukur, Bandung pada 15 Mac 1976. Ketika mula tiba di Bandung penulis disambut di Pusat pelajar Jalan Sulanjana oleh Sdr. Ismail Hamzah, Ketua Kesatuan Pelajar-Pelajar Malaysia di Indonesia, Cabang Bandung. )